Pendidikan Berbasis Kearifan
Lokal
Suaib Amin Prawono, Ketua Forum
Mahasiswa Mandar Bersama (FOMMBES) //
Sejak
diproklamirkannya gagasan Jhon Naisbit oleh sebahagian pakar sosial dengan
jargon “thinks globaly acts localy” (berpikir global dan bertindak lokal),
seketika itu pula, gagasan tersebut menjadi arus utama bagi kalangan
intelektual Indonesia dalam melihat fenomena global serta persentuhannya dengan
lokalitas bangsa ini.
Gagasan yang
booming pada tahun 1990-an ini, mengisyaratkan pembacaan tentang gerak
globalisasi yang senantiasa harus dicermati dengan cerdas, dalam artian,
pembacaan terhadap fenomena globalisasi tidaklah mengarah pada konteks gagasan
anti-globalisasi, akan tetapi gagasan tersebut berupaya untuk membaca gerak
globalisasi secara kritis sebagai upaya untuk melahirkan gagasan produktif dan
progresif demi kemajuan bangsa ini.
Tentunya
goresan ini tidaklah hadir untuk menyalahkan globalisasi sebagai sesuatu yang
sifatnya “sunnatullah”, meskipun di satu sisi tidak bisa dipungkiri bahwasanya
tidak semua produk globalisasi berdampak positif terhadap kehidupan sosial
kita. Namun yang menarik untuk didiskusikan lebih jauh sehubungan dengan
kehadiran globalisasi dalam ruang lokal kita adalah tergusurnya kearifan lokal
di tengah cengkeraman hegemoni global, sehingga lambat laun kearifan lokal
beserta makna yang tersimpan di dalamnya hanya tinggal nama dan tidak lagi
menjadi pijakan moral sosial dalam kehidupan kebangsaan kita.
Demikian
juga, tulisan ini tidaklah bermaksud untuk menawarkan gagasan yang sifatnya
terkunci dalam paradigma lokal dan kering dari perkembangan globalisasi, akan
tetapi bagaimana tujuan dan fenomena globalisasi mampu dibaca dan diterjemahkan
oleh para generasi bangsa ini untuk kepentingan lokal mereka, karena setiap
sistem perubahan harus selalu berangkat dari ruang lokalitas. Meminjam istilah
salah seorang intelektual asal Maroko, Almarhum Muhammad Abed Al-Jabiri
‘Attajdidu mina dhahil’ perubahan harus berangkat dari tradisi kita, bukan
dengan meminjam tradisi orang lain.
Fenomena
Pendidikan Kita
Di tengah
pusaran pengaruh hegemoni global tersebut, fenomena pendidikan kita dewasa ini
tidak hanya membuat lembaga pendidikan kita kehilangan ruang gerak sosial,
akibat orientasi pendidikan yang tertuju kepada kepentingan pasar, akan tetapi
juga semakin menipisnya pemahaman peserta didik kita tentang sejarah lokal,
kearifan lokal, serta tradisi kebudayaan yang tersimpan di dalamnya.
Meskipun
secara teoritis diketahui bahwasanya pendidikan adalah salah satu sarana untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, namun dalam kenyataannya tidaklah demikian,
justru yang terjadi adalah kemajuan dan kecerdasan pendidikan di negeri ini
masih diukur dalam tataran material, seperti bangunan mewah, sarana dan
prasarana yang lengkap serta tingginya angka kelulusan siswa setiap tahun.
Padahal,
tolok ukur kemajuan (keberhasilan) pendidikan tidaklah diukur hanya dari
beberapa faktor yang disebutkan di atas, akan tetapi juga di ukur dari sejauh
mana pendidikan tersebut mampu membangun moralitas sosial peserta didik yang
terkoneksi dengan realitas kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakatnya.
Pendidikan
sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa, mengisyaratkan bahwa pendidikan
adalah tempat di mana kebijaksanaan atau kearifan di produksi sebagai modal
pengetahuan bagi peserta didik yang tentunya sangat terkait dengan persoalan
amanat sosial kebangsaan.
Jika
pendidikan yang notabene sebagai pilar pembangunan bangsa yang beradab dan
bermartabat tidak mampu survive di tengah perkembangan zaman, kira-kira akan seperti
apa budaya pendidikan bangsa ini ke depan?
Tentunya,
pembacaan terhadap kearifan lokal menjadi penting sebagai kerangka acuan dalam
sistem pendidikan kita dewasa ini, sehingga sistem pendidikan yang terbangun
adalah sistem pendidikan yang berlandaskan pada realitas kearifan lokal bangsa,
bukan dengan gagasan yang sifatnya mengawang serta jauh dari realitas kehidupan
peserta didik.
Landasan
Pendidikan
Dewasa ini,
arus penetrasi kebudayaan yang datang dari Barat dan Timur Tengah semakin
gencar mewarnai sistem kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia, serta di
perparah lagi dengan adanya kecenderungan sebahagian generasi muda bangsa ini
berkiblat kepada kedua kebudayaan tersebut. Sehingga disatu sisi, semakin
menjadikan citra bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terpuruk di mata dunia.
Kiblat
peradaban mereka (baca; generasi muda) adalah Barat dan Timur Tengah, sehinga
tanpa disadari fenomena kebudayaan yang kita miliki pun ikut mengalami proses
westernisasi dan arabisasi. Padahal jika kita mencermati secara kritis kemajuan
yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Cina dan India misalanya,
itu tidak lepas dari kehebatan mereka dalam mengkaji kearifan lokalnya.
Belum lagi
perilaku moralitas sebahagian generasi bangsa ini semakin jauh dari garis
kebudayaan bangsanya. Atau jangan-jangan, seabrek persoalan sosial yang terjadi
seperti bencana alam, kasus seks bebas yang marak terjadi di kalangan remaja,
kemiskinan, gagal panen, dan tindak kekerasan adalah wujud dari menipisnya
kearifan lokal kita serta ketidak-mampuan memahami kearifan lokal bangsa
sebagai sarana dalam membentuk karakter manusia Indonesia yang bermartabat.
Apa yang
ditawarkan oleh Abed Al-Jabiri di atas, adalah tawaran yang sangat menarik
untuk kita reflesikan bersama dalam konteks kehidupan kebangsaan kita, sebagai
bangsa yang kaya akan kebudayaan lokal serta didalamnya tersimpan banyak
mutiara hikmah yang dapat menjadi motivasi dan pijakan kehidupan kita untuk
merajut kembali citra bangsa yang berada diambang keterpurukan moral menuju
bangsa yang disegani sebagaimana yang pernah tercatat dalam lembaran sejarah
nusantara masa silam.
Tentunya hal
ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan kita (baik formal maupun
non-formal) sebagai landasan utama dalam mewarnai gerakan generasi bangsa
kedepan. Membangun sumber daya manusia yang bermartabat tentunya tidaklah harus
menafikan keberadaan kearifan lokal, karena pendidikan yang kuat adalah
pendidikan yang berangkat dari ruang kearifan lokal dan menjadikan lokalitas
sebagai sumber pengetahuan.