Selasa, 23 Oktober 2012

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal


Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Suaib Amin Prawono, Ketua Forum Mahasiswa Mandar Bersama (FOMMBES) //
Sejak diproklamirkannya gagasan Jhon Naisbit oleh sebahagian pakar sosial dengan jargon “thinks globaly acts localy” (berpikir global dan bertindak lokal), seketika itu pula, gagasan tersebut menjadi arus utama bagi kalangan intelektual Indonesia dalam melihat fenomena global serta persentuhannya dengan lokalitas bangsa ini.
Gagasan yang booming pada tahun 1990-an ini, mengisyaratkan pembacaan tentang gerak globalisasi yang senantiasa harus dicermati dengan cerdas, dalam artian, pembacaan terhadap fenomena globalisasi tidaklah mengarah pada konteks gagasan anti-globalisasi, akan tetapi gagasan tersebut berupaya untuk membaca gerak globalisasi secara kritis sebagai upaya untuk melahirkan gagasan produktif dan progresif demi kemajuan bangsa ini.
Tentunya goresan ini tidaklah hadir untuk menyalahkan globalisasi sebagai sesuatu yang sifatnya “sunnatullah”, meskipun di satu sisi tidak bisa dipungkiri bahwasanya tidak semua produk globalisasi berdampak positif terhadap kehidupan sosial kita. Namun yang menarik untuk didiskusikan lebih jauh sehubungan dengan kehadiran globalisasi dalam ruang lokal kita adalah tergusurnya kearifan lokal di tengah cengkeraman hegemoni global, sehingga lambat laun kearifan lokal beserta makna yang tersimpan di dalamnya hanya tinggal nama dan tidak lagi menjadi pijakan moral sosial dalam kehidupan kebangsaan kita.
Demikian juga, tulisan ini tidaklah bermaksud untuk menawarkan gagasan yang sifatnya terkunci dalam paradigma lokal dan kering dari perkembangan globalisasi, akan tetapi bagaimana tujuan dan fenomena globalisasi mampu dibaca dan diterjemahkan oleh para generasi bangsa ini untuk kepentingan lokal mereka, karena setiap sistem perubahan harus selalu berangkat dari ruang lokalitas. Meminjam istilah salah seorang intelektual asal Maroko, Almarhum Muhammad Abed Al-Jabiri ‘Attajdidu mina dhahil’ perubahan harus berangkat dari tradisi kita, bukan dengan meminjam tradisi orang lain.
Fenomena Pendidikan Kita
Di tengah pusaran pengaruh hegemoni global tersebut, fenomena pendidikan kita dewasa ini tidak hanya membuat lembaga pendidikan kita kehilangan ruang gerak sosial, akibat orientasi pendidikan yang tertuju kepada kepentingan pasar, akan tetapi juga semakin menipisnya pemahaman peserta didik kita tentang sejarah lokal, kearifan lokal, serta tradisi kebudayaan yang tersimpan di dalamnya.
Meskipun secara teoritis diketahui bahwasanya pendidikan adalah salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru yang terjadi adalah kemajuan dan kecerdasan pendidikan di negeri ini masih diukur dalam tataran material, seperti bangunan mewah, sarana dan prasarana yang lengkap serta tingginya angka kelulusan siswa setiap tahun.
Padahal, tolok ukur kemajuan (keberhasilan) pendidikan tidaklah diukur hanya dari beberapa faktor yang disebutkan di atas, akan tetapi juga di ukur dari sejauh mana pendidikan tersebut mampu membangun moralitas sosial peserta didik yang terkoneksi dengan realitas kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakatnya.
Pendidikan sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa, mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah tempat di mana kebijaksanaan atau kearifan di produksi sebagai modal pengetahuan bagi peserta didik yang tentunya sangat terkait dengan persoalan amanat sosial kebangsaan.
Jika pendidikan yang notabene sebagai pilar pembangunan bangsa yang beradab dan bermartabat tidak mampu survive di tengah perkembangan zaman, kira-kira akan seperti apa budaya pendidikan bangsa ini ke depan?
Tentunya, pembacaan terhadap kearifan lokal menjadi penting sebagai kerangka acuan dalam sistem pendidikan kita dewasa ini, sehingga sistem pendidikan yang terbangun adalah sistem pendidikan yang berlandaskan pada realitas kearifan lokal bangsa, bukan dengan gagasan yang sifatnya mengawang serta jauh dari realitas kehidupan peserta didik.
Landasan Pendidikan
Dewasa ini, arus penetrasi kebudayaan yang datang dari Barat dan Timur Tengah semakin gencar mewarnai sistem kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia, serta di perparah lagi dengan adanya kecenderungan sebahagian generasi muda bangsa ini berkiblat kepada kedua kebudayaan tersebut. Sehingga disatu sisi, semakin menjadikan citra bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terpuruk di mata dunia.
Kiblat peradaban mereka (baca; generasi muda) adalah Barat dan Timur Tengah, sehinga tanpa disadari fenomena kebudayaan yang kita miliki pun ikut mengalami proses westernisasi dan arabisasi. Padahal jika kita mencermati secara kritis kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Cina dan India misalanya, itu tidak lepas dari kehebatan mereka dalam mengkaji kearifan lokalnya.
Belum lagi perilaku moralitas sebahagian generasi bangsa ini semakin jauh dari garis kebudayaan bangsanya. Atau jangan-jangan, seabrek persoalan sosial yang terjadi seperti bencana alam, kasus seks bebas yang marak terjadi di kalangan remaja, kemiskinan, gagal panen, dan tindak kekerasan adalah wujud dari menipisnya kearifan lokal kita serta ketidak-mampuan memahami kearifan lokal bangsa sebagai sarana dalam membentuk karakter manusia Indonesia yang bermartabat.
Apa yang ditawarkan oleh Abed Al-Jabiri di atas, adalah tawaran yang sangat menarik untuk kita reflesikan bersama dalam konteks kehidupan kebangsaan kita, sebagai bangsa yang kaya akan kebudayaan lokal serta didalamnya tersimpan banyak mutiara hikmah yang dapat menjadi motivasi dan pijakan kehidupan kita untuk merajut kembali citra bangsa yang berada diambang keterpurukan moral menuju bangsa yang disegani sebagaimana yang pernah tercatat dalam lembaran sejarah nusantara masa silam.
Tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan kita (baik formal maupun non-formal) sebagai landasan utama dalam mewarnai gerakan generasi bangsa kedepan. Membangun sumber daya manusia yang bermartabat tentunya tidaklah harus menafikan keberadaan kearifan lokal, karena pendidikan yang kuat adalah pendidikan yang berangkat dari ruang kearifan lokal dan menjadikan lokalitas sebagai sumber pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar